Sudah
baca tulisan gue yang judulnya Napas Terakhir Untuknya? Beberapa teman yang
sudah baca ada yang berkomentar kalo itu cerita yang sedih. Bahkan, ada juga
yang sempat nanya tulisan itu true story
apa bukan? Gue cuma bisa ngangguk sambil senyum. Kebahagiaan seorang penulis sebenarnya bukan
saat tulisan mereka dibayar dan menghasilkan uang, tetapi lebih membahagiakan
lagi saat ada orang lain yang mau membaca dan merespons tulisan mereka. Ya,
sesederhana itu. Gue gak pernah menyebut diri gue sebagai penulis, tapi
nyatanya gue suka dan sering menulis… seperti yang gue lakukan sekarang ini.
Kalo ada yang nanya kenapa gue suka nulis? Gue selalu bingung mau jawab apa.
Bagi gue, pertanyaan “Kenapa kamu suka nulis?” itu sebanding sama pertanyaan
“Kenapa kamu suka jengkol?”. Gak semua orang suka jengkol, tapi gue suka.
Kira-kira begitulah, gue juga pusing mikirinnya.
Sebenarnya udah lama gue mau nulis tentang “ibu”, bahkan sehari setelah kepergiannya gue kepikiran untuk berbagi pengalaman sedih itu di blog ini. Tapi entah kenapa, dorongan untuk nulis hal-hal lucu lebih kuat buat gue. Entahlah, mungkin memang bukan passion gue bikin tulisan yang mengharu biru. Oh iya, pas setahun sepeninggalan ibu, gue sempat sekali bikin tulisan yang, mmm, lumayan bikin mewek waktu gue nulisnya. Kalo mau baca, boleh mampir ke sini.
Sebelum
gue post di blog, sebetulnya tulisan gue yang judulnya Napas Terakhir Untuknya
itu adalah hasil suntingan dari naskah yang gue kirim untuk lomba nulis yang
diadain oleh Oki Setiana Dewi. Itu loh, yang meranin tokoh "Ana Althafunnisa" di
film Ketika Cinta Bertasbih. Ini banner lombanya.
Banner Lomba Menulis "Setiap yang Bernyawa Akan Kembali Kepada-Nya" |
Nah,
inilah yang akhirnya bikin gue tergerak untuk nulis cerita tentang ibu. Waktu itu gue nulis dan kirim naskahnya 2 hari sebelum deadline. Gak mudah memang menuliskan
pengalaman pribadi kita sendiri, kadang kita bisa terhanyut dengan apa yang
kita tulis. Tapi itulah hebatnya sebuah tulisan. Dalam menulis, gak akan pernah
ada istilah berbohong. Sekali pun kita berbohong dalam menulis, maka tulisan
itu akan disebut “fiksi”. Namun ada juga yang pernah bilang, semua tulisan
fiksi itu muaranya adalah fakta. Lagi-lagi, inilah hebatnya sebuah tulisan.
Empat
hari setelah deadline lomba, akhirnya
diumumin juga naskah siapa aja yang lolos ke 40 besar dari sekitar 300-an
naskah yang masuk ke email panitia. Alhamdulillah, tulisan gue yang judulnya
“Kematian itu adalah alarm” lolos seleksi jadi semifinalis.
http://okisetianadewi.co.id/id/artikel/pengumuman/253-semifinalis-lomba-menulis- |
Seminggu
kemudian, kembali diumumin naskah-naskah yang jadi finalis lomba ini. Tulisan
gue lolos ke 16 besar. Yes!
http://okisetianadewi.co.id/id/artikel/pengumuman/262-finalis-lomba-menulis-setiap-yang-bernyawa-akan-kembali-kepadanya |
Naskah
masuk 16 besar sebenarnya sudah bikin gue berbangga hati. Tapi, sepertinya
Allah mau ngasih yang lebih buat gue. Hampir satu bulan harap-harap cemas
nunggu pengumuman, akhirnya kecemasan itu berbuah manis juga. Naskah gue lolos
ke tahap akhir lomba ini. Alhamdulillah.
http://okisetianadewi.co.id/id/artikel/pengumuman/293-pemenang-lomba-menulis-setiap-yang-bernyawa-akan-kembali-kepadanya |
Banyak
sekali berkah yang gue dapat. Bukan cuma karena tulisan gue menang lomba, tapi lebih dari itu. Mungkin dengan ini, Allah
ngasih jalan ke gue buat ngasih secuil kebahagian untuk ibu di alam sana.
Karena gue menyertakan namanya dan menuliskan kisahnya, tulisan gue bisa menang
lomba. Karena gue mengikhlaskan kepergiannya, jadi gue udah belajar banyak
tentang kata “mati”.
Bahkan
setelah ibu tiada pun, ia masih jadi ‘alasan’ untuk kebahagiaan anaknya ini. Terima
kasih, Ibu! :)
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!