Masih sembab mataku, tapi kupaksakan
membaca suratmu. Aku tidak begitu terkejut ketika tahu kalau isinya tentang
keinginanmu memutuskan hubungan kita. Aku bukan Rian yang bodoh, setia menunggu
Nela, perempuan yang tak punya hati yang berselingkuh dengan adik kekasihnya.
Jelas kamu dan Nela berbeda. Tapi, sejak dua tahun tak ada kabar, aku sudah tak
terlalu berharap padamu. Percuma menjaga hati dalam penantian yang tak pernah kujanjikan.
Bukankah, sudah kukatakan kalau aku benci pada komitmen? Biarlah hubungan kita
mengalir apa adanya. Meskipun begitu, tetap tak bisa kumungkiri ada sesal,
kenapa keputusanmu bertepatan dengan pengabulan gugatan cerai ayah
terhadap ibuku?
Suratmu kubaca separuh halaman saja.
Aku yakin dengan dugaanku atas kelanjutannya yang pasti akan menyakitkan.
***
"Alde, ada telepon dari
Riska!" Suara ibu mengembalikan kesadaranku. Aku keluar menuju ruang
tengah, menyambar gagang telepon dari tangan Ibu. Telepon dari Riska, perempuan
yang mulai gencar berusaha menggantikan posisimu. Riska memang lebih cantik
bila dibandingkan denganmu, tapi terlalu banyak hal yang ada padamu dan kusukai
tapi Riska sama sekali tak memiliki itu. Karena alasan ketidaksukaanku itu juga
kenapa nomor ponselku tak kuberi tahu padanya.
"Selamat siang, Alde! Aku
punya sesuatu untukmu!" bisik Riska yang mendadak mendekatiku ketika aku
memenuhi ajakan untuk bertemu yang ia buat. Di hadapanku, ia menyodorkan sebuah
bingkisan kecil. Aku semakin muak dengan tingkah lakunya. Ternyata hanya
kamu yang paling tahu kalau aku laki-laki yang tak suka diberi perhatian. Aku
benci semua yang terkesan romantis. Mungkin karena ayahku adalah tipe
laki-laki romantis yang pada akhirnya setelah menduakan ibuku, kini berniat
menceraikan ibu atas
desakan istri keduanya.
***
Sudah setahun lebih sejak aku membaca
suratmu tempo hari, aku tak peduli lagi dengan berita tentangmu. Apalagi,
setelah aku mencoba menerima Riska untuk menyenangkan hati ibu. Dalam pikiranku
saat ini hanya berusaha untuk bisa mencintai Riska. Sesekali memang ada rindu
yang menggelitik, tapi coba kuhalau. Aku benar-benar utuh menghapus adamu tanpa
beban ketika kudengar kabar tentang pernikahanmu dengan Johan, lelaki manis
berdarah Ambon, yang pernah jadi sahabatku.
"Alde! tunggu aku, Alde!"
kudengar sebuah suara yang tak asing ketika aku sedang berjalan menuju halte
bus, sepulang kuliah. Ternyata, Johan yang memanggilku. Dia agak kurus. Pasi
wajahnya seolah mengabarkan padaku kalau dia tidak bahagia. Aku menepis egoku,
memuaskan rasa penasaranku.
"Apa kabarmu? Bagaimana keadaan
Naya?" tanyaku agak ragu.
"Kenapa kamu tidak menemuinya
waktu itu?" Johan tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah menggiringku,
menghempaskanku pada ketidakmengertian dengan sebuah pertanyaan yang tak
kumengerti.
"Maksudmu?"
"Apa kamu tidak membaca
suratnya?"
"Aku membacanya, tapi hanya
setengah halaman. Apa yang terjadi?"
"Sudahlah, Alde! Kamu sudah
terlambat untuk tahu. Di rahimnya ada benihku yang berusia empat bulan.
Sayangnya, sebelum dia mampu mencintaiku seperti janjinya, Leukimia telah
merampasnya dariku. Andai saja kamu membaca suratnya, mungkin dia pergi setelah
sempat memetik kebahagiaannya bersamamu. Ah, iya, ada sedikit urusan yang harus
segera kuselesaikan. Maaf, aku harus pulang duluan. Senang bisa melihatmu lagi,
satu-satunya lelaki yang dicintai Naya—istriku."
Johan berlalu dan membiarkanku
berdiri mematung dengan semua yang masih belum jelas. Aku benar-benar tak
menduga kalau perempuan yang masih kucintai itu kini telah berpindah alam.
Surat? Yah, semua jawaban atas tanda
tanya di otakku ini pasti bisa kutemukan dalam surat itu. Lima belas menit aku
dihujam oleh rasa ingin tahu dalam perjalanan pulang. Buru-buru aku menuju
ruang kamarku saat tiba di rumah. Kubuka laci lemari di sudut kamar, meraih
amplop merah berisi suratmu dan langsung saja menamatkan ejaan yang tertunda
setahun lalu.
Dear Alde,Apa kabar lelakiku? Semoga kamu baik-baik saja seperti harapku. Aku selalu bermimpi, kamu akan jadi laki-laki pertama dan terakhir yang kucintai. Tapi, aku tak tahu apa yang nanti terjadi. Ayah dan ibu memaksaku untuk menikah dengan pria pilihan mereka yang telah kamu kenal sebelumnya. Dia salah satu temanmu di kampus, tapi kamu tak perlu tahu namanya.Mungkin hubungan yang sudah terjalin selama empat tahun ini harus segera kita akhiri. karena aku tak punya pilihan lain. Kamu boleh memakiku sebagai perempuan hina. Terserah! Aku sungguh tak berdaya melawan kedua orangtuaku.Alde, sebenarnya aku bisa saja berontak dengan kemauan mereka. Tapi selama ini, aku tak pernah benar-benar yakin dengan perasaanmu. Ketika aku ingin sekali memujamu, merangkaikan puisi cinta untuk menunjukkan rasaku, kamu selalu ragu padaku. Ketika aku bertanya apakah kamu merinduiku jika beberapa hari tak bertemu, kamu selalu bilang tangkap saja isyaratmu, padahal kamu mungkin memang tak pernah memberi tanda. Selama dua tahun, aku sengaja tak mengabarimu tentang keberadaanku, karena aku merindukan kata rindumu yang tak pernah sekali pun kamu katakan. Aku menunggumu, Al!Kita tak sedang bermain teka-teki untuk menerka kedalaman hati. Cinta tak selalu harus dikatakan tapi tak selalu harus tetap bermakna 'pernah'. Andai sekali saja kamu katakan, aku tak hanya akan berontak pada ayah dan ibuku, bahkan dunia pun akan kuhadapi untuk mempertahankanmu. Aku menunggu kesungguhanmu untuk mempertahankan hubungan kita.Alde…, kutunggu kamu besok pagi di tempat yang sama ketika pertama kali memintaku menjadi kekasihmu. Pastikan rasamu dan temui aku di sana, agar aku yakin untuk tetap memilihmu.Salamku, perempuan yang merindukan kata rindumu.
Baru saja kutuntaskan membaca
suratmu. Kamu berhasil membuat rasa penyesalanku membuncah. Masihkah kata
rinduku berarti kini? Seandainya hari ini kamu masih setia menungguku di bukit
kecil di ujung jalan sana. Bukit kecil yang menjadi saksi keinginanmu untuk
mengakhiri hidup karena
kegadisanmu yang direnggut oleh pamanmu yang brengsek itu. Bukit kecil yang
mempertemukan kita karena aku kebetulan melihatmu di sudut jurang dan segera
menyelamatkan nyawamu. Seandainya kamu masih setia menungguku di sana, pasti sekarang akan
kupenuhi permintaan dalam suratmu ini.
Semua sudah terlambat untuk disesalkan. Sekarang aku di
sini, bukan di bukit kecil tempatmu terakhir kali menungguku. Di depan
pusaramu, aku mengurai air mata penyesalan. Untukmu…, untuk kisah kasih kita yang tak
sudah. Aku terdiam
menekuri nisan kayu di hadapan. Namamu tertulis
di sana. Nama yang begitu dekat denganku, dulu. Biarlah lama aku di sini, menuntaskan
rindu yang teramat sangat. Sungguh,
aku tak pernah merindui siapa pun seperti aku merinduimu. []
2 Komentar
"Kita tak sedang bermain teka teki untuk menerka kedalaman hati."
BalasHapusSuukaaakk... :D
ah. mengharukan banget
BalasHapusSilakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!