Sudah
sedari tadi aku menyumpal telingaku dengan headset
berwarna putih yang tampak sudah mulai menguning. Namun, suara berisik yang
bersumber dari mp3 player yang tersambung dengan speaker murahan di dalam bus ini makin menjadi-jadi. Aku yang
terjebak duduk menyempil di deretan bangku belakang bus akhirnya angkat bicara,
tanpa harus angkat besi. Aku bermaksud menuai protes kepada kernet bus.
“Mas,
volume speaker-nya bisa dikecilin
dikit?”
“Hah?
Dikencingin?”
“Dikecilin!”
“Kelinci?”
“KAMPRET!”
“Heh!
Kamu ngatain saya?!”
“Nggg,
nggak, Mas.”
Aku
melenguh panjang seraya menghindari tatapan memangsa dari sang kernet yang
perawakannya amat kurus dan tinggi, mengindikasikan bahwa ia lebih mirip hasil persilangan
antara manusia dan menara Petronas.
Lagu
Cinta Satu Malam yang sejak tiga
menit lalu berkumandang heboh akhirnya memasuki bagian outro. Itu artinya ada
jeda beberapa menit untuk berpindah ke lagu berikutnya. Aku memanfaatkan
kesempatan ini untuk kembali menuai protes kepada sang kernet bus.
“Mas,
volume lagunya tolong dikurangin dong!”
“Kenapa?
Kamu nggak suka lagu dangdut?”
“Bukannya
nggak suka, tapi—”
“Inilah
sombongnya anak zaman sekarang. Mentang-mentang zaman udah serba maju, jadi
lupa dengan musik khas negeri sendiri.”
“Suaranya
terlalu berisik, Mas.”
“Kamu
pasti sudah keracunan lagu-lagu Korea, ya?”
“….”
Aku
mendesah, pasrah. Kulirik sekeliling isi bus. Segelintir penumpang seperti
sedang menatap ke arahku. Mungkin mereka sedikit terganggu dengan kericuhan
ringan antara aku dan sang kernet.
Sementara
itu, bus tiba-tiba mengerem. Tampak ada seorang penumpang perempuan memasuki
pintu bagian belakang.
Aku
beralih pandang pada perempuan itu, dan di saat itu pun tanpa sadar aku telah
melakukan dua kesalahan dalam waktu bersamaan. Pertama, bertindak cuek pada
kernet bus yang masih saja mengajakku mengobrol seputar lagu-lagu dangdut yang
sedang hits. Kedua, tanpa kusadari, aku
baru saja tanpa sengaja menginjak kaki seorang ibu paruh baya yang duduk di
sampingku, hingga dengan malangnya aku pun dihadiahi ceramah pendek. Di sini aku
mendapat pelajaran, bahwa ibu-ibu yang diinjak kakinya bertendensi mengalami evolusi
menjadi Mamah Dedeh dalam waktu singkat.
Bus
kembali berjalan. Penumpang perempuan yang baru saja menaiki bus tadi rupanya
tak kebagian kursi. Dalam situasi seperti ini, aku seperti melihat sebuah
peluang. Aku pun sontak berdiri dari kursi, lalu menawarkan perempuan itu untuk
duduk.
“Silakan,
Mbak.”
“Aduh,
nggak usah, Mas. Nggak usah repot-repot. Saya berdiri aja.”
“Nggak
apa-apa kali, Mbak. Saya kan laki-laki, masa tega biarin perempuan [cantik]
kayak Mbak berdiri? Hehe.” Tentu saja aku hanya melafalkan kata ‘cantik’ itu di
dalam hati, untuk menghindari tuduhan sebagai ‘lelaki penggoda’ oleh si
perempuan.
Perempuan
itu hanya membalas ucapanku dengan senyum tipis, namun cukup membuatku hampir
pingsan dibuatnya.
“Nggg,
kalo boleh tahu, nama Mbak siapa?”
“Alina.
Panggil aja Alin.”
Nama yang indah, pikirku. Tapi kok kayak nama makhluk luar angkasa, ya? Oh bukan, itu sih Alien.
Aku menoyor kepalaku sendiri.
“Eh,
Mas ini mahasiswa, ya?” Tiba-tiba suara perempuan yang baru kuketahui bernama
Alin itu membuyari lamunan.
“Siswa,
Mbak. Baru kelas 2 SMA, kok.” Aku yakin Alin masih tidak yakin dengan statusku,
apalagi kumisku yang lebat ini makin membuat umurku menjadi tidak absolut.
“Serius?”
Alin memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia sepertinya baru sadar
bahwa celana yang kukenakan berwarna abu-abu. “Oh, aduh! Kamu sih, bajunya
ditutupin jaket segala. Haha. Kamu sekolah di mana?”
“SMA
48.”
Sounds like an idol
group name, huh?
“Loh,
deketan dong sama kantor saya.”
“Eh?
Memangnya Mbak kerja di mana?”
“Kantor
Asuransi yang di seberang sekolah kamu.”
“Yang
sebelahan sama panti pijat?”
“Ah,
iya, tepat!”
Bus
kembali mengerem. Ibu paruh baya yang tadinya sempat berevolusi jadi Mamah
Dedeh karena kakinya terinjak oleh kakiku, beranjak dari bangku lalu turun dari
bus. Dan, itu mengakibatkan ada spasi kosong di sebelah Alin. Tentu aku tak
menyiakannya. Dengan gegap gempita, aku menghempaskan pantatku di bangku malang
tersebut.
Suasana
di dalam bus hening sejenak. Suara bising khas jalan raya mengusik masuk dari
sela-sela jendela kaca.
Aku
mencolek siku tangan Alin yang duduk di sebelahku.
“Mbak
Alin, aku mau nanya.”
“Iya,
mau nanya apa?”
“Eh…
itu… anu… mmm… nilai tukar rupiah lagi anjlok, ya.”
“….”
“Eh,
bukan, bukan.” Aku menggaruk-garuk kulit kepalaku yang tidak gatal. Di dalam
hati aku berharap, semoga tak ada serbuk ketombe yang berhamburan dari rambutku,
karena pasti itu akan sangat memalukan jika terlihat oleh Alin. “Jadi gini, aku
mau nanya…”
“Mau
nanya apa?”
“Kok,
Mbak belum tanya nama saya sih dari tadi?”
Mendengar
penuturanku yang blakblakan, Alin refleks memasang tampang oh-my-god. Seketika hening. Ada jeda yang cukup panjang.
“Duh,
maaf ya, aku jadi lupa nanya balik. Nama kamu siapa?”
“Aden.
Nama panjangnya Adeeeeen.”
Krik.
“Oh,
Aden. Eh, kita ngobrolnya pake ‘aku-kamu’ aja deh, nggak usah pake ‘saya’.
Formal amat kayak rapat pejabat.”
Aku
hanya membalasnya dengan senyum semringah. Namun sepertinya gagal, senyumanku
kali ini malah lebih mirip senyuman om-om nakal.
Percakapan
antara aku dan Alin semakin intens saja. Sesekali derai tawa menghiasi sesi
obrolan kami.
“Mbak…
eh, maksudku kamu… Kamu punya linggis?”
“Nggak
punya.”
“Tapi,
kalo nomor HP punya, kan?”
Modus
basi.
***
“Dari
kecil, aku udah tinggal di pinggir sungai, Den. Makanya, aku cuma bisa
geleng-geleng kalo denger orang kota pamer kalo mereka ahli berenang. Kayak si
Raka itu tuh. Muka kayak tisu bekas tinta printer aja belagu.”
Aku
hanya bisa tertawa lemas mendengar penuturan Basri tentang Raka, teman sekelas
kami yang sering mengaku sebagai atlet renang go kecamatan.
“Wah!
Asyik juga ya kalo punya rumah di pinggir sungai,” seruku kemudian.
“Tapi
banyak loh kejadian absurd waktu aku sering mandi di sungai dulu.”
“Apaan,
Bas? Certain dong!” Aku memosisikan telapak tanganku memangku dagu, seolah
menanti cerita dari Basri yang sungguh informatif untuk disimak.
“Waktu
masih kecil, aku dan teman-teman kan sering mandi di sungai. FYI, di sungai itu
ada banyak sampah yang nggak terduga. Nah, kebetulan waktu lagi mandi
sore-sore, kami nemu sesuatu seukuran telunjuk orang dewasa yang terbungkus
kertas kopi. Di bungkusnya tuh cuma ada tulisan dalam bahasa Inggris yang
artinya nggak kami mengerti. Saat dibuka, kami mendapati balon karet berwarna
putih. Temanku, dengan semangatnya langsung meniup balon putih tersebut.” Basri
menatapku penuh arti.
“Lanjutin,
Bas!”
“Benda
yang awalnya kami kira balon itu bentuknya berbeda dengan balon kebanyakan.
Saat temanku meniupnya, bentuknya nggak jadi bulat, tapi lonjong dan nggak
terlalu mengembang. Nah, kebetulan saat itu juga ada tetangga yang sedang mandi
dan melihat sesuatu menggelembung indah dari mulut temanku itu. Beliau langsung
nanya, ‘Kondom siapa yang kalian tiup?’”
“Paraaah.
Nista banget temanmu itu, Bas!”
Basri
tertawa puas seraya menggelepar-gelepar di ubin kosan.
Aku
hanya geleng-geleng kepala, mencoba memaklumi kejiwaan Basri.
“Eh,
Den, kamu jadi ketemuan sama Alin, sore ini?”
“Jadi
dong. Kenapa? Mau ikut?”
“Enggak ah! Mending aku di kosan aja, nonton
DVD.” Seketika Basri memasang tampang ala aktor JAV dan sesekali menjulur-julurkan lidahnya ke arahku.
Aku
tahu betul apa yang sedang ada di pikiran Basri saat ini. Kelakuannya memang terkadang
durjana. Aku meraih benda dari rak sepatu yang letaknya masih dalam jangkauan
tanganku, lalu bermaksud melemparkannya ke tubuh tambun Basri dengan kecepatan cahaya.
“Bauuu, woy!” teriaknya sambil berusaha
mengelak dengan gaya slow-motion.
Namun terlambat, sepatu futsalku terlanjur mendarat indah di punggung Basri
dengan penuh sukacita.
Bugh!
Basri
langsung memungut sepatu futsal yang baru saja hinggap di punggungnya, lalu
bermaksud balik melemparnya ke arahku.
“Hiyaaaat!”
Bugh!
Serangan
balik Basri mengenai kepalaku. Tiba-tiba aku merasakan suasana di sekelilingku
mendadak gelap.
***
“Udah
lama nunggu?” Aku menghampiri Alin yang duduk di bangku taman, dengan napas
tersengal-sengal.
“Nggak
lama kok, baru sekitar 5 menit. Kamu kenapa? Habis nimba sumur?”
“….”
“Haha.
Becanda kok. Eh, tahu nggak, aku tadi hampir batalin ketemu kamu, loh.”
“Kenapa?”
“Tadi
di rumah, pas aku lagi ganti baju, aku nggak sengaja nyenggol cermin dan cerminnya
pecah.”
“Terus,
kamu luka?” tanyaku tampak cemas, persis adegan telenovela.
“Nggak
kok, bukan itu masalahnya.”
“Lalu,
apa yang terjadi sama kamu?” tanyaku lagi. Kali ini lebih mirip adegan drama
kolosal.
“Kamu
tahu kan, orang yang habis mecahin cermin bakalan ngalamin hal buruk kalo
keluar rumah. Kamu pernah dengar mitos itu, kan?”
Aku
menggeleng. Sejak kecil, aku memang tidak pernah percaya mitos. Satu-satunya
mitos yang kupercaya adalah, bahwa aku adalah lelaki yang tampan dan
menggemaskan.
Waktu
pun terus bergulir. Obrolanku dan Alin semakin mengalir dan menghanyut. Banyak
sekali topik yang menjadi bahan perbincangan kami. Mulai dari hal-hal pribadi,
harga cabe yang melambung tinggi, sampai misteri ketebalan make up Syahrini. Percakapan yang sangat random.
“Beli
minum, yuk, Den. Haus, nih.”
“Di
mana?”
“Tuh,
di sana!” Alin menarik lenganku menuju sebuah bangunan di samping taman.
Bangunan sederhana yang di era globalisasi ini dikenali sebagai warung.
“Mau
pesan apa?”
“Samain
aja deh kayak kamu.”
“Jus
mangga, ya?”
“Boleh.”
Setelah
melakukan transaksi pembayaran atas dua gelas jus mangga, kami pun kembali ke
bangku taman.
“Lin,
kamu udah lama kerja di kantor asuransi itu?”
“Baru
sekitar satu bulan, kok.”
“Oh.
Tapi kok kita baru sekali ketemu di bus, ya?”
“Karena
memang baru sekali itu aku naik bus. Aku sih biasanya diantar.”
“Oleh?”
“Mantan
pacar.”
“Kamu
baru putus?”
“Sekitar
seminggu yang lalu.”
Yes!
“Oh,
berarti lagi kosong, ya. Kebetulan…”
“Kebetulan
apa?”
“Aku
juga lagi kosong.”
“Maksudnya?”
“I
love you!” Kalimat sakral itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Eh?”
“Jawab
dong!”
“Memangnya
kamu nanya apa?”
“I
love you.”
“I
love you itu bukan pertanyaan, jadi nggak butuh jawaban.”
“Tapi,
kan…”
“Jadi
ceritanya kamu mau nembak aku? Hahaha.”
“Kenapa?
Ada yang salah?”
“Den,
kita kan baru dua kali ini ketemu. Kamu belum tahu apa-apa tentang aku. Lagian,
kamu tahu apa sih tentang pacaran?”
“Aku
belum pernah pacaran, Lin.”
Di
dalam hati, aku mengutuk keras artikel berjudul Cara Jitu Nembak Cewek yang pernah kubaca di internet. Kampret!
“Itu
artinya kamu masih hijau.”
“Maksudnya?”
“Belum
berpengalaman.”
Aku
meneguk ludah. Pahit.
“Sama
halnya kayak buah mangga.” Alin mengangkat gelas jus mangga-nya yang tinggal
menyisa setengah. “Kalo buah mangga warna kulitnya masih hijau, itu artinya
belum matang. Belum layak dibikin jus, kan? Sama kayak kamu. Belum pernah
pacaran, malah nembak orang yang nggak seumuran. Ckckck.”
Dalam
situasi seperti ini, pasrah rasanya bila aku dikutuk ibunya Malin Kundang.
Mukaku memanas menahan malu.
“J-jadi
kamu nolak aku?” tanyaku terbata-bata.
Belum
sempat Alin menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi benda patah.
BRAK!
Ternyata
suara itu berasal dari bangku taman yang kami duduki. Dalam hitungan detik, aku
merasa mulai tidak seimbang. Tubuhku terayun ke arah belakang dan kepalaku
siap-siap membentur benda padat dalam bentuk apa pun. Lalu, semuanya gelap….
***
“Den,
bangun!” Aku merasakan seseorang menggoncang tubuhku. Semerbak bau busuk tiba-tiba
menyengat di ujung lubang hidung.
“Hhh,
bau banget! Bau apaan ini?!”
“Ternyata
sepatu futsal ini ampuh juga bikin kamu siuman. Muahaha,” tawa Basri membahana
keras. Bagiku, mendengar tawa Basri ini tergolong penindasan ringan terhadap
gendang telinga.
Aku
mengerjapkan mata dan berusaha bangkit dengan tergopoh-gopoh.
“Yaelah,
dilempar pakai sepatu futsal aja pingsan. Payah!”
Pingsan? Jadi, insiden
aku ditolak tadi itu…
“Eh,
kamu jadi nggak ketemuan sama Alin?”
HELL NO!
13 Komentar
Ending-nya nggak ketebak. Keren, dah! ^^
BalasHapusThank you, Aldy! ^^
Hapuscuman bisa ngakak.. :D
BalasHapusternyata kata-kata yang dianggap basi di sinetron dan ftv masih bisa di pake di cerpen begini, dan hasilnya lebih basi lagi... hihi, bercanda... ^_^V hasilnya nggak garing sama sekali.
kalimatnya ngalir... keren... *tombol like dimana ya?
Thank you. :')) *sodorin like button*
HapusAje gile ni cerpen! Yahud bener dah! Bikin ane ngakak, gaya penulisan'y jg asik. Excellent. ;)
BalasHapusThank you, Indri! \o/
HapusHahaha loco bro. Asli loco ini. Keren!
BalasHapussumpah. keren banget ini cerpen.
BalasHapus1000 like untuk mu. haha
hahaha, lucuuu... endingnya ternyata cuma mimpi ^_^
BalasHapusKakak, cerpennya menghibur. Keren! :)
BalasHapuscerpennya bikin aku ketawa ketiwi bagus dan lucu,,kreatif heheh
BalasHapusAnjis anjis anjis.
BalasHapusBaru pertama ini baca karangan Rido, dan langsung disuguhi cerita yang bikin senyum-senyum sendiri ini. Saya suka setiap kali si tokoh utama bergumam dalam hati. Mantap.
Ha ha RITERROM! (Rido Ternyata Romantis)
MAKANYA BELI NOVEL SAYA!
HapusSilakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!