Di Ponpes Kebon Jambu, keseharian
para santri yang relatif masih muda hampir tak ada bedanya dengan kehidupan
teman sebaya mereka di luar pesantren. Ruang bermain mereka tak dibatasi.
Mereka tetap aktif belajar meski mengantuk saat hafalan. Mereka tetap bisa
menelepon orang tua di antara setumpuk kitab yang harus dibaca. Bisa dibilang,
mereka hidup dengan sewajarnya.
Dalam menjalankan pranata
pendidikan tradisional seperti ponpes, sudah seyogyanya guru-guru menanamkan
nilai kebaikan kepada para santri. Dalam Pesantren, kita bisa lihat para
guru mengajarkan Islam sebagai agama yang menuntun umatnya agar berguna bagi
sesama. Meski menuntut afeksi, guru-guru ini justru melarang sikap fanatisme
terhadap agama yang ujung-ujungnya hanya membatasi kebermanfaatan.
Dengan narasi yang pelan, film
ini menangkap banyak percakapan menarik antara guru—sebutlah ustaz—dengan para
santrinya. Misalnya, menyangkut fenomena masyarakat yang saat ini begitu
gampangnya mengecap orang lain kafir. “Sifat ar-rahman (pengasih) itu lintas
kepercayaan dan lintas agama,” kata seorang ustaz, “sehingga sudah sepatutnya
manusia saling mengasihi.”
Kehidupan pesantren ibaratnya
mikrokosmos sosial. Selayaknya ponpes yang menaungi sekitar 1.800 orang santri,
sudah barang tentu terdapat aneka ragam persoalan di sana. Misalkan saja santri
tingkat satu, tentu ia memiliki problem yang berbeda dengan santri tingkat
empat.
Ada bagian menarik ketika salah
seorang santri tingkat satu, suatu waktu mempertanyakan hal apa yang harus
ditekankan kepada mereka: pendidikan atau kebetahannya dulu? Sebab tak jarang
kita mendengar ada santri mukim—yang menetap di dalam ponpes—menelepon ke orang
tuanya, lalu merengek minta dijemput karena tak betah menghadapi pola
pendidikan ala pesantren.
Secara subtil, film ini pun menyindir perihal bergesernya paradigma orang tua pada era kiwari. Jika dulu para orang tua memondokkan anaknya untuk mendalami ilmu agama—artinya sebelum itu mereka sudah punya bekal, berbeda dengan yang terjadi sekarang. Sering kali ponpes hanya dijadikan pelarian bagi orang tua yang ‘gagal’ mengajarkan agama kepada anaknya.
Pada akhirnya, hal ini berkaitan
dengan gejala sosial yang terjadi di masyarakat, mengenai minimnya santri
jebolan pesantren yang beriktikad untuk mentransfer ilmunya setelah lulus. Alhasil,
terjadilah krisis guru ngaji di kampung-kampung maupun pedesaan.
Selain hal di atas, ada satu nilai kuat yang juga dipupuk dalam Ponpes Kebon Jambu, yaitu tentang kesetaraan gender. Para alim ulama dan ustaz di sana seakan-akan sepakat untuk melawan stereotipe dari konsep atau ajaran yang menyatakan “laki-laki adalah pemimpin”, sebab istilah itu tak berarti sama dengan definisi bahwa laki-laki harus jadi pemimpin.
Secara teoretis, sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa salah satu prinsip pokok ajaran Islam adalah prinsip egalitarian, yakni persamaan hak antar manusia—baik itu laki-laki atau perempuan, maupun antar suku, bangsa, dan keturunan. Maka tak sepatutnya kaum perempuan dimarginalisasi dari peran-peran politik di lingkungan masyarakat.
Dalam konteks khalifatullah fil al-Ardh—yang secara terminologi berarti “kedudukan kepemimpinan”—pun telah mempertegas bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, telah diamanatkan menjadi pemimpin. Meskipun dalam penerapannya, dimensi maskulin sering kali membayang-bayangi masalah misogini, akan tetapi spirit kesetaraan gender terus diajarkan dalam tatanan implementasi di Ponpes Kebon Jambu.
Fakta bahwa ponpes ini diasuh dan dipimpin oleh Nyai Masriyah Amva, seorang perempuan yang berdikari, seolah-olah memperkuat semangat pluralisme maupun feminisme yang hadir di sana. Belum lagi, fakta kalau ponpes ini pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017 yang saat itu baru pertama kali digelar.
Hasbullah dalam buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, mengatakan bahwa pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Bahkan bila dirunut kembali, pesantren lahir atas kesadaran kewajiban dakwah islamiah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau dai.
Meskipun masih memegang
nilai-nilai tradisional, dalam era modernisasi tentu pondok pesantren telah
melakukan berbagai upaya untuk menghindari para santri yang hanya menguasai
ilmu agama secara parsial, tanpa didukung basis ilmu pengetahuan umum. Bagian
kecil ini yang mungkin luput disorot oleh Shalahuddin.
Sang sutradara memang sudah
menyuguhkan gambaran keseharian para santri yang luwes berkesenian. Misalnya,
santri laki-laki mengikuti kompetisi stand-up comedy dan santri
perempuan mengikuti kompetisi musik angklung. Namun, itu hanya sebatas
aktivitas temporer saja, bukan rutinitas harian mereka. Rasa-rasanya penonton
awam seperti saya pasti ingin melihat konten yang lebih dalam.
Terlepas dari itu, visi yang
ingin diangkat oleh Shalahuddin Siregar lewat film ini sudah sangat jelas. Ia
ingin membuang jauh pemikiran ahistoris dan stigma buruk masyarakat dalam
memandang institusi pesantren. Ia seakan ingin teriak bahwa tak ada paham
radikal di sini, tak ada pula ajaran terorisme yang diajarkan kepada para
santri.
Pada tahun-tahun mendatang, tak
mengherankan apabila Pesantren punya tendensi kuat menjadi top of
mind ketika kita ingin merekomendasikan sebuah film berlatar belakang
pesantren. Setelahnya, mungkin bisa disusul Perempuan Berkalung Sorban, 3
Doa 3 Cinta, atau Sang Kiai.
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!